Lagpress.com – Wacana keterlibatan militer dalam jabatan sipil kembali mengemuka setelah beberapa pejabat tinggi negara memberikan sinyal bahwa prajurit aktif TNI bisa ditempatkan di sejumlah lembaga pemerintahan non-pertahanan. Isu ini sontak menimbulkan perdebatan publik yang hangat.
Sebagian pihak menilai langkah ini dapat meningkatkan disiplin dan efisiensi birokrasi. Namun, banyak kalangan lain justru khawatir bahwa kebijakan ini akan menjadi kemunduran bagi demokrasi Indonesia, yang selama dua dekade terakhir berupaya keras memisahkan peran militer dan sipil pasca-Reformasi 1998.

Sejarah Singkat Hubungan Militer dan Sipil di Indonesia
Masa Orde Baru — Dwifungsi ABRI
Pada masa pemerintahan Orde Baru, militer memiliki peran ganda yang dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Konsep ini memberi ruang bagi militer untuk terlibat langsung dalam bidang politik, pemerintahan, dan sosial, tidak hanya pertahanan.
Akibatnya, banyak perwira aktif yang menduduki jabatan strategis di kementerian, BUMN, hingga pemerintahan daerah.
Meskipun pada masa itu dianggap stabil, praktik ini menuai kritik keras karena mengaburkan batas sipil dan militer, serta membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Reformasi 1998 dan Pemisahan TNI-Polri
Pasca Reformasi, salah satu agenda besar bangsa adalah reformasi sektor pertahanan dan keamanan.
Melalui amandemen konstitusi dan sejumlah undang-undang, Dwifungsi ABRI dihapus, dan TNI difokuskan kembali pada fungsi pertahanan, sementara Polri memegang fungsi keamanan dan ketertiban.
Langkah ini menandai era baru demokrasi Indonesia yang menempatkan militer di bawah kendali sipil, sebagaimana praktik demokrasi di negara-negara modern lainnya.
Wacana Baru, Argumen Lama
Kini, dua dekade kemudian, isu militer masuk jabatan sipil kembali muncul.
Alasannya, menurut beberapa pejabat, adalah untuk mengisi kekosongan jabatan strategis di lembaga pemerintahan yang membutuhkan “disiplin, loyalitas, dan kepemimpinan khas militer”.
Namun, para pengamat politik menilai wacana ini menabrak semangat reformasi, bahkan berpotensi mengembalikan praktik masa lalu yang justru ingin ditinggalkan.
Menurut pengamat dari LIPI, Dr. Indria Samego,
“Kalau militer masuk ke ranah sipil tanpa mekanisme yang jelas, maka semangat profesionalisme TNI bisa terganggu, dan demokrasi kita bisa mundur beberapa langkah.”
Landasan Hukum dan Batasan Konstitusional
UU TNI dan Prinsip Netralitas
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit menyebutkan bahwa prajurit aktif dilarang menduduki jabatan sipil, kecuali pada posisi yang memang berkaitan langsung dengan pertahanan dan keamanan.
Pasal 47 ayat (1) UU TNI menegaskan:
“Prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.”
Dengan demikian, wacana ini berpotensi bertentangan dengan undang-undang jika tidak disertai revisi hukum atau mekanisme khusus.
Celah Melalui Penugasan Khusus
Namun, dalam praktiknya, ada celah interpretatif melalui istilah “penugasan khusus”.
Beberapa pejabat berpendapat bahwa prajurit dapat ditugaskan di lembaga sipil atas perintah negara, tanpa harus keluar dari dinas aktif, asalkan penugasannya bersifat terbatas dan memiliki dasar hukum yang jelas.
Perdebatan inilah yang kini menjadi titik panas antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil.
Argumen Pro — Efisiensi dan Kedisiplinan Birokrasi
Pendukung wacana ini berpendapat bahwa militer memiliki keunggulan dalam hal kedisiplinan, integritas, dan efisiensi, yang dibutuhkan oleh birokrasi sipil saat ini.
Beberapa contoh yang sering dikemukakan antara lain:
Kedisiplinan waktu dan prosedur
Militer dikenal dengan budaya tepat waktu dan kepatuhan pada sistem yang dapat menular ke ASN.Kepemimpinan lapangan yang kuat
Banyak lembaga pemerintahan membutuhkan figur pemimpin yang tegas dan cepat mengambil keputusan.Penugasan sementara untuk situasi khusus
Misalnya, penanganan bencana, logistik, atau daerah konflik yang membutuhkan dukungan militer.
Para pendukung meyakini bahwa kolaborasi terbatas antara sipil dan militer justru bisa memperkuat stabilitas pemerintahan jika dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Argumen Kontra — Ancaman bagi Demokrasi dan Profesionalisme
Sebaliknya, pihak yang menolak wacana ini menilai langkah tersebut berpotensi melemahkan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Beberapa risiko yang dikhawatirkan antara lain:
Erosi netralitas TNI dalam politik praktis
Kebingungan rantai komando, karena prajurit aktif tunduk pada dua otoritas (militer dan sipil)
Kemunduran reformasi militer yang sudah berjalan lebih dari dua dekade
Minimnya akuntabilitas publik terhadap prajurit yang menjalankan fungsi sipil
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi TNI,
“Tidak ada urgensi militer masuk jabatan sipil. Masalah birokrasi bukan soal disiplin, melainkan tata kelola dan korupsi sistemik.”
Perbandingan Internasional — Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara demokrasi modern, seperti Amerika Serikat dan Inggris, secara tegas melarang militer aktif menduduki jabatan sipil.
Mereka hanya dapat masuk pemerintahan setelah pensiun dari dinas militer.
Namun, di beberapa negara seperti Thailand atau Myanmar, peran militer dalam pemerintahan masih sangat dominan, bahkan hingga ke ranah legislatif.
Akibatnya, demokrasi di negara-negara tersebut berjalan tidak stabil dan sering diwarnai kudeta atau intervensi militer.
Indonesia yang kini menjadi salah satu demokrasi terbesar di dunia tentu perlu berhati-hati agar tidak mengikuti pola serupa.
Respons Publik dan Media Sosial
Media sosial menjadi ruang utama bagi warga untuk menyuarakan pandangan mereka.
Tagar seperti #JanganUlangiDwifungsi dan #TNIProfesional sempat trending di X (Twitter), dengan ribuan komentar yang menegaskan pentingnya menjaga jarak antara militer dan jabatan sipil.
Survei daring yang dilakukan oleh lembaga riset politik nasional menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden menolak keterlibatan militer dalam jabatan sipil, dengan alasan menjaga netralitas dan akuntabilitas publik.
Pandangan Akademisi dan Aktivis
Menurut Dr. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional UI,
“Kita tidak boleh lupa bahwa semangat reformasi adalah menegakkan supremasi sipil. Kalau militer kembali masuk ke ranah sipil, itu bukan kemajuan, tapi regresi politik.”
Sementara itu, aktivis muda dan organisasi mahasiswa juga menyerukan agar pemerintah memperkuat birokrasi sipil melalui pelatihan, bukan menggantinya dengan personel militer.
“Solusinya bukan mengimpor disiplin militer, tapi memperbaiki sistem meritokrasi ASN,” ujar Ketua BEM UI dalam sebuah wawancara.
Alternatif Solusi: Kolaborasi Tanpa Pelanggaran Batas
Beberapa pakar menyarankan model “kolaborasi lintas lembaga tanpa penugasan langsung”, artinya TNI tetap bisa membantu pemerintahan sipil dalam:
Penanggulangan bencana alam
Pengamanan proyek strategis nasional
Dukungan logistik di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar)
Namun, semuanya harus dilakukan dalam kerangka kerjasama antar lembaga, bukan dengan menempatkan prajurit aktif di jabatan sipil permanen.
Dengan demikian, profesionalisme kedua belah pihak tetap terjaga, dan demokrasi tidak terganggu.
Menjaga Garis Tipis antara Kolaborasi dan Intervensi
Wacana militer di jabatan sipil adalah isu sensitif yang menyentuh jantung demokrasi Indonesia.
Di satu sisi, ada kebutuhan akan efisiensi dan kedisiplinan birokrasi.
Namun di sisi lain, ada tanggung jawab moral dan politik untuk menjaga netralitas militer dan supremasi sipil.
Reformasi 1998 bukan sekadar sejarah, tapi komitmen bersama agar kekuasaan negara dijalankan berdasarkan konstitusi, transparansi, dan akuntabilitas.
Selama prinsip itu dijaga, Indonesia akan tetap berada di jalur demokrasi yang sehat — dengan militer yang profesional, dan pemerintahan sipil yang kuat. (LAGPRESS/ADMIN)























