Lagpress.com – Proyek Chromebook di Era Digitalisasi Pendidikan
Sejak pandemi COVID-19, digitalisasi pendidikan menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia. Upaya mempercepat transformasi di sekolah-sekolah membuka peluang dan risiko baru — salah satu yang paling mencuri perhatian adalah proyek pengadaan Chromebook di bawah Kemendikbudristek.

Menurut versi Kejaksaan Agung, pengadaan ini melibatkan anggaran Rp 9,98 triliun yang dibagi dari dana alokasi khusus (DAK) dan anggaran pusat.
Secara ringkas:
Awalnya tim teknis menyarankan penggunaan perangkat berbasis Windows atau alternatif lain, namun kemudian “beralih” ke Chrome OS.
Uji coba awal menunjukkan bahwa penggunaan Chromebook secara masif menghadapi kendala konektivitas, terutama di daerah dengan jaringan lemah.
Meski demikian, proyek tetap dilanjutkan — dan kini menjadi objek penyidikan Kejaksaan.
Dengan skala sebesar itu, publik pantas bertanya: apakah ini benar langkah strategis untuk pendidikan atau celah lepasnya dana publik?
Kronologi & Aktor Utama
Penetapan Tersangka & Tahapan Penyelidikan
Kejaksaan Agung menyatakan telah menetapkan beberapa individu sebagai tersangka dalam kasus ini:
Sri Wahyuningsih (Direktur SD di Kemendikbud)
Mulyatsyah (Direktur SMP)
Ibrahim Arief (konsultan mandiri)
Jurist Tan (mantan Staf Khusus Mendikbudristek)
Nadiem Makarim (mantan Mendikbudristek)
Beberapa poin menarik dalam proses penyidikan:
Kejaksaan menggeledah apartemen stafsus mantan mendikbud untuk mengamankan dokumen dan perangkat elektronik.
Kejaksaan juga mulai menerima pengembalian dana dari pihak vendor dan kementerian terkait.
Nadiem sendiri dinyatakan tersangka dan ditahan sementara, memicu gelombang pro dan kontra di publik dan kalangan politik.
Peran yang Diduga & Modus Operandi
Beberapa dugaan modus dalam kasus ini antara lain:
Pengaturan Spesifikasi ke OS Tertentu
Dokumen teknis dituduh diatur agar mengarahkan ke Chrome OS, bukan alternatif lain, sehingga vendor-vendor tertentu lebih diunggulkan. Penggelembungan Harga & Mark-up
Anggaran proyek yang besar memberi ruang bagi mark-up per unit atau ongkos logistik tersembunyi. Media menyebut kata “senilai Rp 9 triliun” sebagai angka sorotan.Kajian Teknis & Tender yang Dipaksakan
Ada tuduhan bahwa kajian teknis (feasibility study) diubah agar proyek tetap lolos, walaupun tidak ideal untuk kondisi Indonesia (misalnya jaringan internet yang belum merata).Distribusi & Pelaporan Simbolik
Beberapa unit Chromebook diklaim telah disebarkan ke sekolah-sekolah, yang kemudian dijadikan bukti distribusi proyek. Namun efektivitas penggunaannya dipertanyakan, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terpencil, terdepan).
Spesifikasi & Nilai Proyek: Apakah Proporsional?
Media teknologi mencoba membongkar berapa “isi” perangkat tersebut. Salah satu artikel menyebut bahwa dengan anggaran besar, spesifikasi Chromebook yang diterima siswa justru tidak terlalu tinggi.
| Aspek | Temuan / Tuduhan | Catatan Penting |
|---|---|---|
| OS / Sistem | Chrome OS dijadikan syarat wajib | Menurut Kejaksaan, pilihan OS berbeda dijegal dalam spesifikasi tender |
| Harga per unit | Diduga mahal atau mark-up | Jika total Rp 9,9 triliun, rata-rata unit bisa sangat tinggi tergantung jumlah unit yang dibeli |
| Konektivitas & penggunaan offline | Banyak daerah belum optimal jaringan | Uji coba awal menunjukkan lemahnya cakupan internet di banyak sekolah |
| Daya tahan & garansi | Tidak banyak diulas publik secara rinci | Hal ini menjadi titik kritik: apakah perangkat tahan lama dan layak diklaim sebagai investasi? |
Jika perangkat yang dibeli hanya “cukup standar” namun dihargai sangat tinggi, maka ruang manipulasi keuntungan sangat terbuka.
Reaksi Publik & Stakeholder
Dari Pemerintah & Kementerian
Nadiem Makarim membantah tuduhan sebagai bentuk politisasi, dan menyatakan bahwa proyek ini memiliki dasar teknis serta telah melalui audit.
Pihak Kemendikbudristek menyatakan akan mendukung proses hukum dan transparansi.
Dari Organisasi Pengawas & Masyarakat
ICW dan sebagian pengamat menyoroti bahwa proyek ini melanggar prinsip pengadaan terbuka dan tidak sesuai urgensi pendidikan — terutama jika perangkat tidak optimal untuk semua wilayah.
Media massa dan publik menyoroti nilai triliunan, menimbulkan pertanyaan: mengapa tidak dialokasikan untuk infrastruktur (internet sekolah) terlebih dahulu?
Dampak Psikologis & Politik
Proyek sebesar ini otomatis menjadi titik tekanan. Nama mantan Menteri terkait bisa memicu konflik kepentingan, tuduhan politisasi proses hukum, dan pengaruh “penjebakan opini” di ruang publik.
Status Terkini & Prediksi Lanjutan
Beberapa dana sudah dikembalikan oleh pihak vendor / kementerian ke Kejaksaan. Namun jumlah pasti belum dipublikasikan secara resmi.
Penetapan tersangka terhadap Nadiem memicu sidang praperadilan. Kasus ini kemungkinan akan melibatkan audit tambahan (oleh BPK, BPKP) dan penyusunan dakwaan yang sangat terperinci.
Efek jangka panjang: kepercayaan publik terhadap program digitalisasi pendidikan bisa turun, terutama jika hasilnya dianggap “gagal” atau mubazir.
Pelajaran & Catatan Kritis
Prioritaskan Infrastruktur Dasar Terlebih Dahulu
Membeli perangkat canggih tanpa jaringan listrik / internet memadai sama saja membungkus “alat tanpa jalan”.Transparansi Spesifikasi & Tender Harus Terbuka
Jika spesifikasi teknis dirahasiakan atau “diarahkan”, maka peluang penyimpangan sangat besar.Audit Independen & Keterlibatan Publik
Audit eksternal sejak awal (misalnya lembaga pengawasan, organisasi masyarakat) bisa mencegah manipulasi.Evaluasi Efektivitas, Bukan Kuantitas
Lebih baik sedikit perangkat yang berfungsi optimal dibanding banyak perangkat yang tidak dipakai.Akuntabilitas Pejabat & Vendor
Jika terbukti, penegakan hukum harus adil, cepat, dan transparan agar menjadi contoh pencegahan.
Kesimpulan
Skandal Chromebook di proyek pendidikan Indonesia mencuat sebagai salah satu skandal teknologi paling besar dalam beberapa tahun terakhir. Dengan nilai yang dipublikasikan mendekati Rp 9,9 triliun, kasus ini memadukan kontroversi teknis, hukum, dan politik.
Apakah ini sekadar kegagalan sistem atau konspirasi keuntungan jutaan rupiah? Kejaksaan dan lembaga hukum punya tantangan besar untuk membuktikannya secara meyakinkan. Di sisi lain, masyarakat — terutama dunia pendidikan — harus menjadi pengawas kritis agar anggaran publik benar-benar digunakan untuk kemajuan anak bangsa, bukan untuk kesalahan mahal. (LAGPRESS/ADMIN)























